Kebijakan Publik Antikorupsi yang Terkubur dalam Retorika dan Kepahlawanan Palsu

OPINI

Korneles Materay, Peneliti Bung Hatta Anti Corruption Award, Alumnus FH UAJY, Anggota Bidang Kajian dan Penelitian Hukum DPP Ikahum Atma Jogja 2021-2027

3/13/20256 min baca

JAKARTA - Tradisi politik pasca-reformasi jamak bagi publik menagih bukti kinerja pemimpin baru. Seratus hari pertama sering dianggap kiblat bagaimana pemerintah itu memprioritaskan penyelesaiakan agenda-agenda pokok. Salah satu agenda yang dinantikan adalah kebijakan publik antikorupsi.

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjanji sebagaimana termaktub dalam Asta Cita 7 akan melaksanakan sejumlah program kerja yang bertujuan untuk memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, diantaranya: penerapan sistem pendanaan dan pembiayaan politk yang transparan; penguatan KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman; menjadikan KPK sebagai center of excellence dalam upaya pemberantasan korupsi yang bersifat preventif, memperkuat program edukasi antikorupsi bagi generasi muda; serta menjalin kerja sama dengan sektor swasta untuk memperkuat sinergi gerakan antikorupsi di sektor publik dan privat.

Selain itu, memberikan prioritas pemberantasan korupsi pada sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat seperti pertanian, perdesaan, perikanan, pendidikan, kesehatan, kehutanan, sumber daya alam, dan perburuhan. Tindakan lebih lanjut termasuk revitalisasi pengawasan melalui pembangunan inspektorat yang independen dan akuntabel serta pengawasan kebocoran penerimaan perpajakan yang dipadukan dengan sistem transaksi keuangan yang bersifat bankable dan pembayaran non-tunai. Tak kalah penting adalah menjamin dan menegakkan proses penanganan masalah hukum profesional, transparan, berintegritas, serta mencegah hukum dijadikan alat politik kekuasaan.

Presiden Prabowo berulang kali memberikan pernyataan publik terkait korupsi sebagai penyebab berbagai masalah di bangsa ini. Prabowo menyatakan korupsi merupakan musuh utama bangsa yang telah menghancurkan fondasi ekonomi negara, memperburuk ketimpangan sosial, dan merampas hak-hak rakyat. Untuk membangun negara yang adil dan makmur, diperlukan komitmen yang kuat dalam menuntut pertanggungjawaban terhadap semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Prabowo mengingatkan bahwa aset-aset yang telah disalahgunakan harus dikembalikan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Tidak ada kompromi dalam hal ini, dan pemerintah harus memiliki ketegasan serta keberanian untuk bertindak. Pengembalian aset korupsi akan menjadi simbol bahwa negara tidak memberi ruang bagi tindakan merugikan rakyat.

Prabowo membumbui komitmen antikorupsinya dengan sejumlah pernyataan yang masih terbersit di dalam kepala banyak orang seperti "akan mengejar koruptor sampai Antartika," "ikan busuk dimulai dari kepala," dan "jangan ada loyalitas jiwa korps yang keliru.”

Surplus Retorika dan Fake Heroism

Bagaimana implementasi kebijakan antikorupsi dalam seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran? Indonesia Corruption Watch menilai bahwa realisasi agenda antikorupsi cenderung berbalik arah, bahkan terkesan adaya sikap toleransi terhadap koruptor. Beberapa pernyataan publik menjadi indikasi, seperti: i) pernyataan Presiden akan memberikan pengampunan atau memaafkan koruptor jika mengembalikan uang rakyat yang dicuri; ii) pernyataan Menteri Hukum sebagai realisasi dari permaafan terhadap koruptor dengan menerapkan kebijakan denda damai; iii) pernyataan Menteri Hukum bahwa keberadaan KPK yang tidak relevan lagi jika tiga UU, yaitu Partai Politik, Perampasan Aset, dan Pembatasan Uang Kartal dibahas dan disahkan DPR.

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) juga menyampaikan kekhawatiran terkait arah pemberantasan korupsi, mengingat belum adanya kebijakan konkret yang dapat diandalkan dalam menangani masalah tersebut. Salah satunya, terkait penguatan KPK, PUKAT menyoroti soal independensi KPK pasca-revisi UU KPK yang menempatkan lembaga tersebut di bawah pengaruh eksekutif.

Transparency International Indonesia (TII) memberikan kartu merah untuk seratus hari Prabowo-Gibran. Justifikasinya sejumlah peristiwa mulai dari penggunaan kop surat resmi kementerian desa oleh Mendes untuk acara pribadinya; pernyataan Menko Kumham dan Imipas soal tragedi 1998 bukan pelanggaran berat; pelantikan Mayor Teddy yang diduga melanggar UU TNI; permintaan anggaran Rp20 T yang tidak masuk akal dari MenHAM; pernyataan Presiden terkait jangan takut deforestrasi 20 juta hektar untuk kelapa sawit; kontroversi kenaikan PPN 12%. Selain itu, catatan lain terkait rekam jejak sejumlah menteri aktif terseret kasus korupsi, pengangkatan stafsus dari kalangan buzzer, hingga masalah latar belakang akademik menteri dan stafsus.

Penulis berpandangan agenda antikorupsi dalam seratus hari pertama bak terkubur dalam retorika dan cenderung mencerminkan fenomena kepahlawanan palsu (fake heroism). Pemerintah tampak surplus dalam retorika, namun minus kebijakan yang substansial. Retorika antikorupsi lebih berfungsi sebagai respons terhadap berbagai kasus dan peristiwa yang pada akhirnya lebih bertujuan membangun citra bahwa pemerintah serius dalam menangani korupsi.

Pola yang terbentuk menunjukan bahwa Presiden Prabowo seringkali diposisikan sebagai figur sentral dalam menyelesaikan berbagai polemik, sementara sejumlah pejabat terlebih dahulu berbagi peran sebagai "bad guy” maupun "good guy” dalam membentuk narasi. Pada akhirnya, narasi good guy selaras dengan sikap Presiden.

Sejak hari-hari awal terbentuknya kabinet Merah-Putih, beberapa pejabat level menteri telah terseret dalam polemik yang terindikasi penyalahgunaan wewenang baik bertindak melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang. Bahkan hingga peristiwa terkini yaitu retret kepala daerah yang diduga menjadi praktik KKN baru seperti dugaan pelanggaran proses pengadaan barang dan jasa serta benturan kepentingan dan/atau kolusi antara Kemendagri dan bisnis kader Partai Gerindra. Wacana kebijakan publik acapkali serampangan saja dilemparkan kepada publik, pun komunikasi kebijakan saling tumpang tindih serta simpang-siur. Hal tersebut telah menimbulkan syak wasangka berkepanjangan sekaligus memperlihatkan masih minimnya kesadaran mengembangkan kebijakan berbasis bukti dan ilmiah.

Melihat pola-pola yang terbangun, penulis memiliki empat catatan. Pertama, rendahnya integritas pejabat dalam menjalankan fungsi pemerintahan yakni melaksanakan administrasi pemerintahan untuk mengatur, melayani, membangun, memberdayakan, dan melindungi masyarakat. Indikator sederhananya dapat dilihat dari bagaimana menyajikan wacana kebijakan tidak matang atau merespon keluhan dan kritik masyarakat. Sejumlah pejabat memperlihatkan ketidakjujuran, ketidakprofesional, sikap semena-semena, kolusi dalam pengadaan barang dan jasa, hingga memanipulasi informasi publik. Tagar #KaburAjaDulu, #OkGasAntriGas, #IndonesiaGelap, merupakan beberapa ungkapan keresahan masyarakat terhadap buruknya perilaku aparatur negara, birokrasi, pelayanan, dan kebijakan publik di negeri ini yang masih dipandang enteng. Presiden seharusnya melakukan evaluasi terhadap menteri-menteri dengan integritas rendah karena mereka tidak merepresentasikan visi antikorupsi.

Kedua, masifnya perilaku koruptif yang ditonjolkan pejabat baik dalam sikap dan perilaku, maupun respons terhadap kritik dan wacana kebijakan. Dalam pelbagai studi antikorupsi, perilaku koruptif itu indikasi awal atau penyebab dari tindak korupsi. Perilaku koruptif secara sederhana berarti hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip antikorupsi seperti integritas, kejujuran, dan transparansi. Perilaku koruptif bila tidak ditatar berdampak pada kebijakan atau keputusan publik yang tidak obyektif dan tidak adil, menurunnya kepercayaan publik pada aparatur dan institusi negara, menurunnya kualitas pelayanan publik yang baik, dan lain sebagainya.

Ketiga, adanya realitas bahwa belum ada kebijakan publik antikorupsi yang konkret. Hal ini tentu tidak sesuai dengan ekspektasi terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran yang berpandangan bahwa korupsi adalah musuh utama bangsa dan perlu komitmen politik yang kuat dari semua pihak untuk terlibat memberantasnya.

Bicara perihal kebijakan publik antikorupsi, tidak sama dengan penanganan kasus tindak korupsi. Secara ringkas, kebijakan publik berarti alat untuk mencapai tujuan publik, bukan tujuan orang perorangan atau golongan dan kelompok. Keberadaan kebijakan publik sangat penting dan krusial guna tercapainya sebuah tujuan dimana ada sejumlah prasyarat atau tahapan lain yang harus dipenuhi sebelum sampai pada tujuan yang dikehendaki. Krusial karena sebuah kebijakan telah dibuat melalui proses yang baik dan isinya juga berkualitas (Rusli, 2013:9). Kebijakan publik dapat digambarkan sebagai kerangka kerja keseluruhan dimana tindakan pemerintah dilakukan untuk tujuan publik, dirancang untuk menangani masalah yang menjadi perhatian publik (Maharani, 2021).

Sesungguhnya kebijakan publik merupakan suatu usaha yang kompleks untuk kepentingan publik, suatu teknik untuk mengatasi permasalahan dan menimbulkan insentif/dorongan agar semua pihak bergerak. Dalam konteks antikorupsi, kebijakan publik antikorupsi adalah usaha sistematis yang dirancang untuk mengetahui, mencegah dan memberantas korupsi yang melibatkan semakin banyak orang di dalamnya, saling bekerja sama antara pemerintah (baik dalam arti luas maupun sempit) dan warga negara (masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, swasta, dan lain sebagainya).

Keempat, agenda antikorupsi akan terlaksana dengan cepat dan tepat apabila ada kepemimpinan antikorupsi. Kepemimpinan antikorupsi berperan sebagai pemberi teladan, pendorong perubahan budaya, dan pendukung utama kebijakan antikorupsi. Perubahan-perubahan yang dihasilkan karena kebijakan antikorupsi yang baik dimanapun sangat membutuhkan campur-tangan pemimpin antikorupsi. Presiden dan Wakil Presiden dalam kapasitasnya sebagai pemimpin nasional, seharusnya menempatkan dirinya untuk memainkan peran ini dengan presisi.

Dalam seratus hari ini, tidak ada kebijakan antikorupsi yang didorong oleh Presiden dan Wakil Presiden untuk segera diselesaikan. Presiden Prabowo minimal masih memberikan arahan khususnya terkait penegakan kasus-kasus korupsi. Sebaliknya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bagai terpisah dari keresahan publik. Energi duet ini tak tampak dalam diskursus antikorupsi.

Prioritas Kebijakan Antikorupsi

Pemerintah sudah waktunya memprioritaskan agenda antikorupsi. Kebijakan antikorupsi merupakan tanggung jawab konstitusional untuk memastikan tujuan negara dalam konstitusi terwujud dengan pemanfaatan sumber daya negara tanpa korupsi. Melekat di sana tanggung jawab moral dan politik Presiden dan Wakil Presiden terhadap janji politiknya, menjaga integritas dan kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.

Merujuk pada Asta Cita, Penulis menyarankan agar dalam jangka pendek langkah-langkah yang dapat ditempuh, pertama, melakukan revitalisasi KPK. Presiden dapat saja menerbitkan Perppu untuk mengembalikan KPK seperti sedia kala dan seterusnya menjamin independensinya dalam penegakan hukum. Selain itu, melakukan penguatan kejaksaan dan kepolisian untuk mengawasi dan menindak korupsi terutama di daerah-daerah. Kedua, mempercepat disahkannya kebijakan yang mendukung perampasan aset tindak korupsi, seperti pengesahan RUU Perampasan Aset.

Ketiga, mempercepat kebijakan pendanaan dan pelaporan pembiayaan politik yang transparan dan akuntabel. Selain itu, integrasi sistem pembiayaan non-tunai di seluruh K/L untuk mengoptimalkan pengawasan keuangan dan mencegah kebocoran anggaran. Perlu dalam hal ini mendorong agar segera adanya pembahasan dan pengesahan revisi UU Partai Politik, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dan paket kebijakan penerapan teknologi untuk mencegah dan memberantas korupsi.

Keempat, implementasi kurikulum antikorupsi secara nasional di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi serta komunitas-komunitas anak muda. Perlu ada semacam gerakan pendidikan antikorupsi yang masif dimana terbangun sebuah ekosistem pendidikan yang berintegritas dan berkelanjutan.

Kelima, pencegahan korupsi sektor-sektor strategis. Pemantauan berbasis data dan survei publik secara reguler untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan serta mengidentifikasi titik rawan korupsi di sektor-sektor tersebut sangatlah penting.

Keenam, peningkatan kapasitas aparatur negara terkait antikorupsi dan pengawasan harta kekayaan pejabat melalui instrumen LHKPN. LHKPN bahkan bisa menjadi temuan perpajakan dengan melihat begitu besarnya pelaporan hibah pejabat di LHKPN yang seringkali tidak masuk akal, bisa menjadi potensi pengenaan pajak.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di hukumonline.com, 2 Maret 2025

https://www.hukumonline.com/berita/a/kebijakan-publik-antikorupsi-yang-terkubur-dalam-retorika-dan-kepahlawanan-palsu-lt67c4832ba47f6/