Perihal Transparansi Dalam Partisipasi Publik Yang Bermakna
OPINI
Rosita Miladmahesi S.H., M.H, Peneliti dan Editor di bidang hukum. Saat ini bekerja sebagai Tenaga Ahli di DPR-RI periode 2024-2029
2/6/20255 min baca


JAKARTA - Sejak akhir 2019, isu mengenai legislasi mulai terlihat jelas pasca pembentukan berbagai undang-undang yang secara kualitas masih dinilai berada di bawah standar. Pada periode ini, pembentuk undang-undang nampak mentolerir pembentukan undang-undang tanpa adanya partisipasi publik yang ideal. Permasalahan mengenai partisipasi publik kemudian mencuat tajam ketika Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dibahas dan diberlakukan di tengah pandemi COVID-19.
Proses pembahasan yang dianggap terburu-buru memicu reaksi luas dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat sipil. Kontroversi tersebut akhirnya berujung pada pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK), yang memberikan beberapa panduan mengenai bagaimana seharusnya partisipasi publik dijalankan dalam pembentukan undang-undang. MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kemudian menetapkan tiga hak utama untuk memastikan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), yaitu: hak untuk didengarkan (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), terakhir, hak untuk dijelaskan (right to be explained). Adapun partisipasi ini ditujukan bagi kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung atau memiliki kekhawatiran atau kepedulian terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. (Mahkamah Konstitusi, 2020)
Partisipasi jenis ini, setidak-tidaknya dilakukan dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang; pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang menyangkut Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan kesepakatan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden (Mahkamah Konstitusi, 2020).Jika membaca uraian yang disampaikan oleh MK, maka jelas, meaningful participation ialah hak warga negara, yang implikasinya menjadikan penyelenggaraan meaningful participation menjadi kewajiban pembentuk undang-undang.
Namun, ketika meaningful participation dimasukkan ke dalam Pasal 96 Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), konsep inti dari meaningful participation justru terdistorsi. Awalnya didesain sebagai hak bagi warga negara, justru berubah menjadi hak bagi pembentuk undang-undang. Rupanya, ada tendensi bahwa pembentuk undang-undang gagal memahami konsep meaningful participation.(PSHK, 2022) Otomatis, proses partisipasi publik yang dilakukan hanya bersifat simbolis, tanpa benar-benar membuka ruang diskusi yang setara antara masyarakat dan pemerintah, mencerminkan kepentingan elit politik atau kelompok tertentu yang dominan. Maka tak berlebihan, jika dikatakan meaningful participation justru berubah menjadi meaningless participation. (Mochtar, dkk, 2024)
Ketika membicarakan partisipasi publik atau keterlibatan warga negara dalam demokrasi, mungkin tulisan milik Sherry R. Arnstein yang berjudul "A Ladder of Citizen Participation" yang terbit di tahun 1969 sudah tidak terlalu asing. Secara substantif, Arnstein menyatakan bahwa dalam konsep partisipasi publik, ada delapan langkah partisipasi, yang meliputi: manipulation; therapy; informing; consultation; placement; partnerships; delegated power; dan citizen control. Dari delapan langkah tersebut, Arnstein masih mengelompokkannya menjadi tiga anak tangga partisipasi, yaitu: non-participation (manipulation, therapy) sebagai anak tangga terendah; tokenism (informing, consultation, placement) sebagai anak tangga tengah dan; citizen power (partnership, delegated power, citizen control) sebagai anak tangga tertinggi. (Arnstein, 1969) Dari kesemua anak tangga yang ada, yang paling problematik ialah tokenism atau tokenisme. Pada tokenisme, keterlibatan warga lebih bersifat simbolis tanpa dampak nyata terhadap pengambilan keputusan.
Pada konteks Indonesia, sejarah justru menunjukkan dominasi tokenisme dalam partisipasi publik sejak era awal kemerdekaan. Bahkan pola ini telah ada sejak masa Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP), yang mana partisipasi publik lebih sering bersifat sepihak, dan warga hanya diberi kesempatan yang cukup terbatas untuk menyampaikan aspirasi terkait pengambilan keputusan, terutama perihal pembentukan undang-undang. (DPR-GR, 1983). Pola ini rupanya berlanjut dari waktu-ke waktu, yakni sejak Orde Lama, Orde Baru, sampai dengan Era Reformasi. Pada tahun 2020-2021, MK terlihat berusaha untuk menggeser paradigma tokenisme menjadi partisipasi publik yang lebih bermakna. Mengingat, berkembangnya era digital dan sosial media yang mengakibatkan mudahnya akses terhadap berbagai pemberitaan, ditambah dengan kebutuhan masyarakat yang mulai berubah seiring waktu. Namun, upaya ini jelas tidak berhasil, karena pada akhirnya pengaturan formil mengenai meaningful participation justru kembali ke dalam bentuk tokenisme.
Apabila mengacu kepada putusan MK yang lalu, maka ditemukan permasalahan paling mendasar terkait dengan partisipasi publik, yakni hal transparansi. Permasalahan transparansi dalam proses legislasi, sebenarnya telah menjadi isu utama dalam permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tahun 2020. Para pemohon dan pakar hukum berpendapat bahwa prosedur pembentukan undang-undang ini tidak transparan, sehingga menghambat partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation. Hal ini tidak hanya terlihat dalam UU Cipta Kerja, tetapi juga mencerminkan pola serupa dalam pembentukan sejumlah undang-undang lain antara 2019 hingga 2022, seperti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN), Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Transparansi seharusnya menjadi fondasi bagi partisipasi publik yang efektif. Namun, MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memperkenalkan konsep meaningful participation tidak memberikan perhatian khusus pada isu transparansi.
Tiga hak yang dijelaskan oleh MK dalam meaningful participation, tanpa dibarengi oleh transparansi, tentu tidak dapat dijalankan dengan optimal. Tidak transparannya proses legislasi memiliki dampak signifikan terhadap kemampuan warga negara untuk berpartisipasi. Dalam skenario pertama yang terkait dengan right to be heard dan right to be considered, tanpa akses informasi yang transparan, masyarakat berpotensi tidak mengetahui agenda pembentukan undang-undang yang sedang dilakukan oleh pembuat kebijakan. Kondisi ini membuat warga negara tidak dapat menggunakan hak mereka untuk menyampaikan pendapat, apalagi memastikan bahwa masukan mereka dipertimbangkan dalam proses legislasi. Pada skenario kedua, yang berkaitan dengan right to be explained, meskipun masyarakat telah mengikuti proses partisipasi publik, ketiadaan transparansi mengakibatkan mereka tidak mengetahui hasil dari kontribusi yang telah diberikan. Akibatnya, hak untuk mendapatkan penjelasan tentang bagaimana masukan mereka digunakan menjadi terabaikan.
Secara teori, partisipasi publik bertujuan untuk memberikan pengaruh terhadap kebijakan. (Huntington, 1994) Terutama dalam aspek right to be considered. Namun, dalam konteks Indonesia, penting dipahami bahwa right to be considered hanya menjamin hak warga negara untuk memberikan saran atau pendapat, tetapi tidak menjamin bahwa masukan tersebut akan menjadi dasar pengambilan keputusan (Mahkamah Konstitusi, 2018). Hal ini khususnya berlaku dalam proses pembentukan undang-undang, di mana konsep meaningful participation tidak mencakup right to be accepted atau hak untuk diterima. Makna partisipasi publik sendiri dapat diukur dari dua aspek utama, yaitu implementasi dan hasil. Implementasi mencakup proses atau mekanisme yang digunakan untuk melibatkan masyarakat secara demokratis. Sementara itu, hasil partisipasi publik menunjukkan sejauh mana masukan masyarakat diakomodasi dalam kebijakan yang diambil. (Christiano, 1997)
Kedua aspek diatas saling berkaitan, tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Dalam praktiknya, ketika proses partisipasi publik dirancang dengan baik tetapi hasilnya tidak transparan, partisipasi publik kehilangan maknanya. Masyarakat tidak mengetahui apakah masukan mereka diterima, ditolak, atau bahkan diabaikan. Ketidakjelasan atas tranparansi, dapat menciptakan masalah baru, yaitu hilangnya akuntabilitas dalam proses legislasi. Untuk memastikan partisipasi publik yang bermakna, transparansi harus menjadi bagian integral dari proses legislasi. Transparansi memberikan kesempatan kepada warga negara untuk berpartisipasi secara substansial, memahami proses yang terjadi, dan mengetahui hasil akhir dari kontribusi mereka. Tanpa transparansi, partisipasi publik hanya menjadi formalitas yang digunakan untuk melegitimasi keputusan pembuat undang-undang, tanpa benar-benar melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. (MacCoun, 2006)
Oleh karena itu, terlepas dari bagaimana bentuk maupun variasi partisipasi publik yang dilaksanakan, inti persoalan partisipasi publik di Indonesia terletak pada transparansi dalam proses legislasi. Dalam sistem demokrasi, prinsip transparansi seharusnya menjadi elemen utama yang mendasari pelaksanaan partisipasi publik. Walaupun dapat dimengerti bahwa tidak semua hasil partisipasi publik dapat digunakan atau diakomodasi dalam pengambilan keputusan, kurangnya transparansi terhadap pelaksanaan dan hasil partisipasi menjadi cukup sulit untuk ditoleransi. (Gosseries, 2006) Transparansi memastikan bahwa masyarakat tidak hanya dapat berpartisipasi, tetapi juga memahami proses dan hasilnya. Tanpa transparansi, partisipasi publik dalam bentuk dan desain apapun, akan kehilangan maknanya. Menjadikan partisipasi publik dan segala pelaksanaannya sebagai formalitas tanpa substansi yang nyata dalam mempengaruhi kebijakan.
Referensi:
Axel Gosseries, “Democracy and Transparency”, Swiss Political Science Review, Vol. 12, No. 3, 2006.
Robert J. MacCoun, “Psychological Constratins on Transparency in Legal and Government Decision Making”, Swiss Political Science Review, Vol. 12, No. 3, 2006.
Samuel P. Huntington, Joan Nelson, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, terj. Sahat Sinamora, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Thomas Christiano, “The Significance of Public Deliberation” in James Bohman and William Rehg, (ed), 1997, Deliberative Democracy: Essays on Reason and Politics, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts.
Sekretariat DPR-GR, 1983, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia, Jakarta.
Sherry R. Arnstein, “A Ladder Of Citizen Participation”, Journal Of The American Planning, July 1969.
“DPR Gagal memahami Partisipasi Publik Bermakna dalam Penyusunan RKUHP”, https://pshk.or.id/publikasi/dpr-gagal-memahami-partisipasi-publik-bermakna-dalam-penyusunan-rkuhp/
Zainal Arifin Mochtar, dkk, “From Meaningful to Meaningless Participation: The Tragedy of Indonesia’s Omnibus Law on Job Creation” Jurnal Media Hukum, Vol. 31, no. 2, 2024.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Buletin Lex et Veritas Vol. 1 No. 1 Januari 2025.
IKAHUM Atma Jogja
Ikahum Atma Jogja adalah ikatan alumni Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang solid, berdedikasi untuk saling mendukung, berbagi pengetahuan, dan berkontribusi pada almamater dan pengembangan hukum serta masyarakat.
KONTAK:
bergabung dengan ikahum atma jogja
sekretariat@ikahumatmajogja.id
+62 812 1414 9719
© 2025 IKAHUM ATMA JOGJA