Warisan Paus Fransiskus: Kesederhanaan dan Keberanian Melawan Korupsi

OPINI

Korneles Materay , Peneliti Bung Hatta Anti Corruption Award, Alumnus FH UAJY, Anggota Bidang Kajian dan Penelitian Hukum DPP Ikahum Atma Jogja 2021-2027

5/15/20254 min baca

JAKARTA - Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Sedunia, Kepala Negara Vatikan, wafat pada usia 88 tahun setelah hampir 13 tahun menjabat sebagai Paus pada 21 April 2025 pukul 07.35 waktu setempat, di Casa Santa Marta, Vatikan. Lahir di Buenos Aires, Argentina, 17 Desember 1936, Jorge Mario Bergoglio memasuki Serikat Yesus pada usia 21 tahun dan kemudian ditahbiskan sebagai imam pada 1969. Setelah menjadi uskup pada 1992 dan kardinal pada 2001, ia terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013.

Kepausannya dikenang karena fokus pada belas kasih, keadilan sosial, perawatan ciptaan, dan pembaruan internal Gereja. Ia melakukan 47 perjalanan apostolik ke luar Italia, mengkanonisasi 942 orang kudus, dan mengangkat 163 kardinal baru dari berbagai belahan dunia. Paus Fransiskus menampilkan wajah kepemimpinan progresif, humanis dan berpihak pada nilai-nilai solidaritas, terutama dalam membela hak-hak kelompok yang selama ini mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Beliau aktif menyuarakan dan mendorong perubahan dalam tatanan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik secara global. Mengkritik keras ketimpangan sosial, kemiskinan, korupsi dan penyalahgunaan wewenang publik, krisis iklim, hingga konflik bersenjata.

Pada momentum Paskah 2025 atau sehari sebelum wafat, Paus Fransiskus menyoroti penderitaan dan krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Paus meminta agar segera dilakukan gencatan senjata di Jalur Gaza, pembebasan para sandera dan akses terhadap bantuan kemanusiaan. Selain itu, Paus eksplisit meminta pemulihan situasi di Lebanon dan Suriah, Ukraina, Armenia dan Azerbaijan, Republik Demokratik Kongo, Sudan dan Sudan Selatan, Sahel, Tanduk Afrika, dan wilayah Great Lakes hingga Myanmar.

Anti-korupsi dan anti ideologi elitis

Paus Fransiskus meninggalkan warisan pemikiran dan ajaran moral serta sosial yang mendalam bagi kita. Salah satunya pandangan tentang kekuasaan dan korupsi. Beliau menolak korupsi dan obsesi ideologi elitis yang terputus dari kenyataan hidup rakyat.

Jauh sebelum dikenal vokal terhadap praktik korupsi dalam berbagai pernyataannya di berbagai forum internasional, menurut Austen Ivereigh, dalam tulisan-tulisan spiritual Bapa Suci tahun 1968-1992, ia telah mengkritik para elite yang mencintai ide-ide mereka sendiri, tetapi terputus dari rakyat. Bergoglio menekankan bahwa perubahan sosial sejati tidak datang dari arogansi kaum elite, melainkan dari gerakan rakyat. Pemerintahan harus berpijak pada nilai-nilai kerakyatan, bukan ambisi tak terkendali kekuasaan.

Ivereigh menegaskan bahwa Paus Fransiskus bukanlah “liberal” dalam arti barat. Ia justru adalah seorang konservatif akar rumput yang percaya bahwa pemerintah harus melayani kebaikan bersama, melindungi yang rentan, dan membangun kepercayaan sosial-bukan melayani elite atau ideologi kosong.

Sejak awal pontifikatnya, Paus Fransiskus mengecam Tindakan-tindakan koruptif yang disebutnya berakar dari krisis moral, ketamakan, dan hilangnya rasa tanggungjawab sosial. Beliau memandang korupsi sebagai bentuk pembusukan hati. Dalam pengertian ini, pelaku korupsi tidak lagi memikirkan nasib dampak yang ditimbulkan akibat tindakan tersebut. Sesama manusia dan hak-hak yang seharusnya diperoleh hanya sebatas obyek eksploitasi. Baginya, korupsi sebagai dosa berat. Dosa berat berarti mengancam fondasi dasar kehidupan sosial. Korupsi bukan hanya soal uang dan kekuasaan, tetapi sistem etika yang hilang.

Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi oleh individu atau institusi di sektor publik maupun swasta. Korupsi hadir dalam berbagai bentuk, seperti penyuapan, penggelapan, suap balik (kickbacks), permainan ganda, pencucian uang dan penipuan.

Joseph Galea-Curmi, Uskup Auksilier Malta, menyebutkan Paus Fransiskus menekankan dampak korupsi yang merusak bagi individu dan Masyarakat. Korupsi tidak hanya merusak integritas pribadi, tetapi juga mengancam fondasi dasar kehidupan sosial. Korupsi hadir bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang menghancurkan tatanan sosial, memperdalam kemiskinan, dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi.

Paus memperingatkan ilusi atas kekayaan dan kekuasaan yang seringkali menggunakan cara-cara kekerasan dan menghancurkan moral. Yang dibutuhkan adalah pendekatan reformasi menyeluruh, yang dimulai dari pertobatan pribadi dan meluas ke struktur Masyarakat.

Tanggung jawab bersama memerangi korupsi. Semua orang memiliki peran dalam membangun budaya kejujuran dan akuntabilitas. Bila korupsi tidak dilawan secara terbuka, korupsi bisa menjebak semua orang yang pada akhirnya menghancurkan integritas komunal.

Tindakan konkret

Paus tidak omon-omon. Ia menggunakan dirinya untuk menampilkan keteladanan. Menjadi contoh sederhana dan penuh batas dalam menggunakan fasilitas negara, sederhana dalam berpikir, tetapi membumi pesannya, merangkul dan menginspirasi banyak orang untuk memiliki nilai diri yang bersahaja.

Sejumlah tindakan konkret beliau lakukan dimulai dari reformasi internal berupa penertiban manajemen keuangan dan properti, audit eksternal termasuk membentuk Auditor Jenderal yang bertugas mengawasi laporan keuangan lembaga-lembaga Vatikan, investigasi, evaluasi hingga pemecatan pejabat yang terlibat skandal keuangan, dan secara terbuka mengkritik gaya hidup mewah pejabat gereja di Tengah kehidupan umat yang prihatin.

Menurut Francesco Clementi, profesor hukum di Universitas Perugia, dalam merestrukturisasi keuangan Vatikan, Paus Fransiskus memilih kriteria yang dipahami oleh komunitas ekonomi dan keuangan global, yakni strategi keterbukaan dan transparansi.

Di bawah kepemimpinannya, gereja telah mengadopsi serangkaian kesepakatan dan dokumen untuk menyelaraskan ekonomi dan fiskal dengan dunia internasional berdasarkan prinsip-prinsip antikorupsi yang senapas dengan United Nation Convention Againts Corruption.

Meskipun terdapat tantangan, Paus berhasil mengeluarkan beberapa kebijakan antikorupsi. Salah satu kebijakan misalnya, pada tahun 2020, di tengah krisis Covid-19, Paus Fransiskus mengesahkan aturan pengadaan dan pengeluaran di Vatikan yang dimaksudkan untuk efisiensi biaya, memastikan persaingan yang terbuka dan transparan, dan mengurangi risiko korupsi dalam pemberian kontrak, termasuk soal memberantas nepotisme dan kronisme.

Salah satu perubahan, yakni pembentukan daftar Tunggal pemasok untuk seluruh departemen Vatikan, sehingga tidak ada lagi daftar masing-masing. Seluruh kontrak diawasi oleh auditor dan pengadilan. Pengadilan berwenang untuk menangguhkan bila mencurigakan. Prof. Vincenzo Buonomo, Rektor Universitas Lateran Kepausan menyatakan langkah ini akan menghilangkan praktik pilih kasih dan memastikan persaingan yang adil serta efisiensi biaya.

Melanjutkan reformasi melawan korupsinya, pada 2021, Paus menerbitkan motu proprio baru yang melarang pejabat Kuria Roma menerima hadiah pribadi dengan nilai lebih dari 40 euro. Peraturan ini mewajibkan semua manajer senior dan administrator untuk menandatangani deklarasi yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah diselidiki atau dihukum karena kejahatan seperti korupsi, penipuan, eksploitasi anak di bawah umur, perdagangan manusia, terorisme, pencucian uang, atau penghindaran pajak. Mereka juga harus memperbarui deklarasi ini setiap dua tahun. Mereka dilarang menempatkan uang mereka di surga pajak (tax havens) atau di Perusahaan yang berbasis di negara-negara yang dikenal sebagai pusat pencucian uang. Mereka tidak boleh memiliki barang atau investasi dalam properti yang dibeli dengan dana illegal. Selain itu, mereka juga tidak boleh memiliki saham atau kepentingan dalam perusahaan yang kebijakannya bertentangan dengan ajaran sosial Gereja.

Merujuk pada Kompendium Ajaran Sosial Gereja, mengakui bahwa korupsi politik adalah salah satu penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan, terutama di negara-negara berkembang. Dalam konteks negara yang memiliki utang besar, korupsi, pengelolaan keuangan publik yang buruk, serta penyalahgunaan pinjaman turut menyebabkan ketidakmampuan membayar utang. Dalam sistem demokrasi, korupsi politik sangat merusak karena merupakan salah satu bentuk paling serius dari deformasi karena menghianati prinsip moral dan norma keadilan sosial.

Paus Fransiskus menawarkan pentingnya budaya integritas, proses politik transparan, dan debat publik yang bebas dan sadar di dalam Laudato Si’ yang dikeluarkannya pada tahun 2015. Paus melihat bahwa meskipun korupsi dilarang dalam hukum, lemahnya penegakan hukum menjadikannya terus tumbuh. Karena itu, seruannya dalam Laudato Si’, masyarakat sipil harus menekan politisi untuk menerapkan protokol anti korupsi yang ketat dan efektif.

Paus Fransiskus menyerukan upaya bersama untuk menumbuhkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas, mendorong setiap individu untuk menghadapi korupsi dalam kehidupan dan komunitas mereka. Dengan mempromosikan budaya kejujuran dan pelayanan bagi kebaikan bersama.

Selamat Jalan Sri Paus....

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Kompas.com, 23 april 2025

https://www.kompas.com/global/read/2025/04/23/132835870/warisan-paus-fransiskus-kesederhanaan-dan-keberanian-melawan-korupsi?page=all#page2